Beberapa hari ini dunia sepak bola Indonesia sedang riuh soal prestasi, kinerja Ketua PSSI, hingga match fixing yang masih terjadi. Awalnya sih ramainya ini karena kinerja Ketua PSSI yang bikin netizen panas karena tanggapan-tanggapan Ketua PSSI saat ini yang sangat tidak masuk akal.
Mulai dari pernyataan kalau Luis Milla bakal datang, istilah Coach itu Pelatih, hingga yang terakhir adalah Kalau Wartawannya Baik, Maka Timnasnya Akan Baik. Siapppp!
Tagar #EdyOut pun semakin membara seiring dengan kegagalan Timnas Senior Indonesia di ajang AFF Suzuki Cup 2018. Akhirnya keramaian ini diangkat dalam program “Mata Najwa” Trans 7 dan menjadi topik yang menarik perhatian banyak orang.
Dalam acara Mata Najwa, Rabu (28/11/2018) kemarin mengangkat tema “PSSI Bisa Apa” dengan menghadirkan banyak narasumber baik dari Exco PSSI, Kemenpora, Pelatih, Manajemen Tim hingga Mantan runner Match Fixing. Saya nggak perlu sebutin nama-namanya ya, soalnya pasti udah pada tau semua.
Nah yang menarik adalah adanya buka-bukaan soal adanya match fixing di sepak bola kita.
Terakhir masalah match fixing ini ramai adalah ketika adanya ‘sepak bola gajah’ di tahun 2015 yang mempertemukan PSS Sleman dan PSIS Semarang. Dan kini masalah match fixing ini mencuat kembali dengan kasus yang menurut saya lebih kompleks.
Mengapa Match Fixing Bisa Ada di Sepak Bola Indonesia?
Ini yang jadi pertanyaannya. Tapi sebelumnya apa yang saya sampaikan ini hanyalah opini saya pribadi berdasarkan apa yang saya lihat saat ini.
Awalnya saya mengira kalau match fixing itu memang diinginkan oleh sebuah klub agar bisa menang dalam sebuah pertandingan, entah itu dikarenakan ingin mencuri skor, gengsi nama klub, atau ingin menjadi juara dalam liga/turnamen. Tapi setelah melihat tayangan di Mata Najwa khususnya apa yang disampaikan oleh Bambang Suryo (Mantan Runner Match Fixing), saya baru sadar.
Saya sadar kalau sepak bola baik di Indonesia maupun di mana saja itu dijadikan sebuah pasar yang manis untuk para pejudi sepak bola. Bahkan sekarang ini banyak situs perjudian yang bisa digunakan secara bebas. Saya sendiri tidak tahu sistemnya bagaimana, karena belum pernah mencoba.
Akan tetapi saya berasumsi bahwa adanya match fixing ini dikarenakan adanya perjudian tersebut. Perjudian yang skalanya Internasional dan tentu duitnya pasti raturan juta bahkan lebih.
Dalam tayangan di Mata Najwa itu Bambang Suryo mengatakan kalau ada salah satu bandar dari sebuah situs judi yang mencari orang kepercayaan dari Indonesia untuk mengatur masalah match fixing di Indonesia. Di sini secara nalar saya jadi paham kalau sebenarnya match fixing ya hanya digunakan oleh pihak-pihak pejudi saja. Mereka yang ingin menang dalam judinya, melakukan match fixing supaya berharap bisa menang judi banyak.
Akhirnya mereka memanfaatkan klub-klub yang memang dari segi finansial masih kurang baik dan pemain-pemain yang bisa diajak untuk melakukan match fixing.
Jadi saya rasa ini bukan karena pihak klub sendiri yang berinisiatif melakukan match fixing.
Tapi ya mungkin ada klub yang memang ingin mengatur skor supaya bisa menang dan lolos. Hanya saja itu mungkin urusannya pihak bos-bos klub yang ingin klubnya bisa terus naik. Sepak bola ini kan bisnis.
Kalau ditanya apakah match fixing di Indonesia bisa dilenyapkan atau tidak, menurut saya bisa. Asal ada kemauan dari semua official team untuk menolak segala bentuk suap. Hanya saja itu butuh proses. Karena kita tahu kondisi sepak bola di Indonesia itu gimana, khususnya masalah pengelolaan manajemen tim. Sampai sekarang saja masih ada pemain yang telat digaji, kualitas wasit yang kurang profesional, dll. Sehingga itu bisa jadi peluang bagi oknum-oknum yang ingin melakukan match fixing tersebut.
Itu opini saya. Menurut mu gimana?